WHAT'S NEW

UNSUR-UNSUR SIMETRI KRISTALOGRAFI



Unsur-unsur simetri kristalografi merupakan hal yang penting dalam penentuan jenis kristal. Hal itu dikarenakan unsur-unsur simetri kristal ibarat penciri pada taksonomi hewan/tumbuhan. Berikut unsur-unsur simetri kristalografi:


1. Zona dan Sumbu Zona
a. Zona
Zona didefinisikan sebagai satu set bidang-bidang kristal yang terletak sedemikian sehingga garis-garis potongnya saling sejajar satu sama lain.
b. Sumbu Zona
Sumbu zona adalah suatu garis yang letaknya sejajar dengan garis potong dari bidang-bidang yang terletak dalam satu zona.
Posisi zona dan sumbu-sumbu zona pada kristal kubus:
Zona 1: (100), (010), (00) dan (00) dengan c sebagai sumbu zona.
Zona 2: (100), (001), (00) dan  (00)dengan b sebagai sumbu zona.
Zona 3: (001), (010),  (00dan  (00)dengan a sebagai sumbu zona.

Untuk lebih mudah memahaminya perhatikan gambar berikut:


Zona 1 disimbolkan oleh huruf A, zona 2 disimbolkan oleh huruf B dan zona 3 disimbolkan oleh huruf C. Sedangkan sumbu zona 1 merupakan garis berwarna hitam, sumbu zona 2 garis berwarna biru dan sumbu zona 3 garis berwarna coklat.

2.Pusat atau inti simetri titik inversi (i)


Suatu kristal dikatakan memiliki pusat (i) jika garis yang ditarik dari setiap titik pada permukaan kristal selalu melewati pusat kristal dan menghasilkan titik-titik yang berlawanan arah dengan jarak yang sama dari pusat kristal.

Pada gambar diatas titik i merupkan pusat simetri. Terlihat pada gambar diatas jarak i-A = i-A', i-B = i-B' dan i-C = i-C'. Sehingga dapat disimpulkan titik i membagi dua kristal dimana salah satu bagian menjadi seperti cermin yang dibalik oleh bagian lainnya. 

3.Bidang Simetri atau Bidang Cermin (m)
Bidang simetri atau bidang cermin (m) merupakan bidang imajiner atau bidang khayal yang memisahkan dua bidang yang mempunyai bentuk muka yang sama dalam ukuran dan bentuk pada arah yang berlawanan.
Berikut contoh bidang simetri yang dimiliki oleh kubus:
Pada kubus ada 9 buah bidang simetri yaitu bidang simetri yang sejajar dengan bidang-bidang kristal sebanyak 3 buah dan bidang simetri diagonal sebanyak 6 buah, berikut gambarannya:

 






4.Sumbu Simetri atau Sumbu Lipat (n)
Sumbu simetri atau sumbu lipat (n)  merupakan garis imajiner, dimana hablur dapat berotasi serta menunjukan berapa banyak hablur tersebut dapat memperlihatkan kenampakan bidang hablur yang sama dan sebangun serta benar-benar berimpit.. Besar sudut sumbu lipat (n) = 360°/n, dengan nilai n = 1, 2, 3, 4, dan 6.

Misalnya pada kubus, yang memiliki 3 jenis sumbu lipat yaitu:
-Sumbu lipat 2
 
Pada sumbu tersebut, ketika kubus diputar 180° (berlawanan/searah jarum jam) secara terus-menerus sampai satu putaran penuh akan menghasilkan kenampakan yang sama dengan kenampakan awal. Sehingga ada 2 kenampakan yang sama yaitu pada putaran ke-1(telah diputar 180°) dan ke-2(telah diputar 360°).
-Sumbu lipat 3
 
Pada sumbu tersebut, ketika kubus diputar 120° (berlawanan/searah jarum jam) secara terus-menerus sampai satu putaran penuh akan menghasilkan kenampakan yang sama dengan kenampakan awal. Sehingga ada 3 kenampakan yang sama yaitu pada putaran ke-1(telah diputar 120°), ke-2(telah diputar 240°), dan ke-3(telah diputar 360°).
-Sumbu lipat 4
 
Pada sumbu tersebut, ketika kubus diputar 90° (berlawanan/searah jarum jam) secara terus-menerus sampai satu putaran penuh akan menghasilkan kenampakan yang sama dengan kenampakan awal. Sehingga ada 4 kenampakan yang sama yaitu pada putaran ke-1(telah diputar 90°), ke-2(telah diputar 180°), ke-3(telah diputar 270°) dan ke-4(telah diputar 360°).

Nah, mimin ada pertanyaan nih buat pembaca kenapa sumbu lipat 5 tidak ada? dan bagaimana pendapat pembaca tentang sumbu lipat 1? Jawab dikolom komentar yaaa...


Heksagonal: Kelas Trapezohedral (Soon)





PROYEKSI KRISTALOGRAFI

Proyeksi kristalografi berfungsi untuk mengamati suatu kristal dari bentuk tiga dimensi ke bentuk dua dimensi. Berikut macam-macam proyeksi stereografi:

a. Proyeksi Bola
Pada proyeksi jenis ini kristal ditempatkan seolah-olah berada ditengah bola, kemudian dari titik pusat bola ditarik garis normal ke bidang-bidang kristal dan diteruskan hingga memotong/menembus bidang proyeksi menghasilkan titik-titik yang tersebar pada bidang bola.


Namun proyeksi jenis ini hanya memproyeksikan dari bentuk 3D kristal ke bentuk 3D, sehingga tujuan dari proyeksi kristalografi tidak tercapai.

b. Proyeksi Gnomonik
Proyeksi gnomonik menggunakan prinsip dasar yang sama dengan proyeksi bola. Penempatan bidang datar dilakukan pada kutub utara bola, penarikan garis normal dilakukan dari pusat bola menembus bidang kristal yang terlingkup oleh hemisfer atas . Selanjutnya garis normal ini akan menembus bidang bola dan terus menembus bidang datar pada kutub utara bola tanpa merubah arah penarikan garis normal. Sehingga dihasilkan titik-titik pada bidang datar tersebut sebagai hasil proyeksinya. Biasanya bidang datar yang digunakan berupa bujur sangkar. Agar dapat memproyeksikan kristal secara keseluruhan (bidang kristal yang berada di hemisfer bawah ikut diproyeksikan) maka bidang datar diletakkan pada kutub selatan dengan tata cara yang mirip.
 

c. Proyeksi Orthografi
Proyeksi Orthografi dilakukan dengan cara menempatkan bidang datar berbentuk lingkaran seukuran luas lingkaran khatulistiwa bola pada bagian utara bola. Proyeksi dilakukan seperti proyeksi bola, menghasilkan titik-titik hasil proyeksi yang tersebar pada bidang bola, selanjutnya dari titik-titik tersebut ditarik garis secara vertikal menembus bidang datar berbentuk lingkaran tersebut menghasilkan titik-titik yang tersebar pada bidang datar berbentuk lingkaran sebagai hasil proyeksinya. Agar dapat memproyeksikan kristal secara keseluruhan (bidang kristal yang berada di hemisfer bawah ikut diproyeksikan) maka bidang datar diletakkan pada kutub selatan dengan tata cara yang mirip.
 
d. Proyeksi Stereografi
Jika pada dua jenis proyeksi sebelumnya hasil proyeksi bola diproyeksikan ke kutub, maka pada proyeksi stereografi hasil proyeksi bola diproyeksikan ke bidang ekuator melalui kutub sel atan. Perpotongan garis yang ditarik dari titik-titik kutub ke kutub selatan sampai menembus bidang proyeksi stereografi ditandai dengan titik penuh (•). Sedangkan untuk kristal yang berada di hemisfer bawah garis ditarik dari titik-titik kutub ke kutub utara menembus bidang proyeksi stereografi ditandai dengan lingkaran kecil (०).
 
Proyeksi jenis ini yang digunakan pada praktikum kristalografi dan mineralogi.

Daftar Pustaka:
Representation of crystallographic symmetry. Whittaker, E. J. W., Crystallography: An Introduction for Earth Science (and other Solid State) Students , Pergamon Press (1981).

Pole figures and preferred orientations. Henry, N. F. M., Lipson, H. and Wooster, W. A., The Interpretation of X- Ray Diffraction Photographs , Macmillan (1961).

Crystallography and Scattering Methods. Borchardt-Ott, Walter. Crystallography, Springer-Verlag Berlin Heidelberg (1995).


KRISTAL 3: Koefisien Weiss dan Indeks Miller

Pada pembahasan sebelumnya kita telah mengetahui bahwa sumbu salib kristalografi terdiri dari tiga sumbu yaitu: sumbu a, sumbu b dan sumbu c. Ketika suatu bidang ditempatkan pada sumbu salib kristalografi maka bidang tersebut akan memotong sumbu kristalografi, baik hanya di salah satu sumbu, dua sumbu ataupun semua sumbu kristalografi tergantung posisi bidangnya terhadap sumbu kristalografi. Dalam penentuan posisi bidang kristal pada sumbu salib kristalografi maka digunakanlah konsep koefisien weiss dan indeks miller. Kedua konsep ini menghasilkan kedudukan/penamaan bidang yang ditulis sebagai (abc).

-Koefisien Weiss (KW) = panjang bagian sumbu yang terpotong/satu satuan ukur sumbu


Contoh:
1. Suatu bidang memotong sumbu kristalografi di a sepanjang 3 satuan di b sepanjang 2 satuan dan di c sepanjang 1 satuan, bagaimanakah bentuk bidangnya dan apa nama bidangnya?

Bentuk bidang:
Dalam menggambarkan bentuk bidang pada sumbu kristalografi menggunakan prinsip yang sama dengan penggambaran bidang pada koordinat kartesius.
 
Nama Bidang:
Informasi yang disampaikan pada soal merujuk pada bagian sumbu yang terpotong dimana OA = 3, OB = 2 dan OC = 1, sedangkan satu satuan ukur sumbu untuk setiap sumbu kristalografi memiliki nilai yang sama sebesar 1 sehingga dengan menggunakan harga KW:

KW = OA/1 OB/1 OC/1 = 3/1 2/1 1/1 = (321)

2. Jika suatu bidang digambarkan seperti gambar dibawah maka bagaimana kedudukannya?
  

Pada gambar diatas terlihat bidang hanya memotong sumbu A sepanjang 1 satuan sehingga kita bisa tuliskan untuk sumbu b dan sumbu c pemotongan bidang terjadi sepanjang ~. Dari kedua fakta tersebut maka diperoleh harga KW = (1 ~ ~). Apakah harga KW seperti ini bisa digunakan sebagai penunjuk kedudukan bidang?

Jawabannya tentu tidak karena hal itu bertentangan dengan hukum Indeks Rasional yang menyatakan bahwa: " Perbandingan setiap unit potongan bidang kristal terhadap salib sumbu harus merupakan angka-angka rasional, yaitu bilangan bulat sederhana". Sedangkan ~ bukan merupakan angka rasional. 

Berikut beberapa contoh kondisi yang menyebabkan nilai KW memiliki nilai ~:
A. 2 buah nilai tak hingga
a. KW = (1 ~ ~) 

b. KW = ( -1 ~  ~) 
 
B. 1 buah nilai tak hingga
a. KW = ( 1 1 ~)




d. KW = ( -1 -1 ~)
 
Maka digunakanlah Indeks Miller untuk mengatasi masalah tersebut.
-Indeks Miller = satu-satuan ukur sumbu/panjang bagian sumu yang terpotong = 1/KW
Dengan menggunakan IM maka diperoleh nilai kedudukan yang awalnya ~ menjadi 0, IM = 1/~ = 0. Ketentuan lainnya jika diperoleh nilai negatif maka digantikan dengan tanda bar diatas angka. Selanjutnya diperoleh nilai kedudukan sebagai berikut (untuk jawaban):
A.
a. IM = (1 0 0)
b. IM = (0 0)
B.
a. IM = (1 1 0)
B IM = ( 1 0)
Untuk itu pada pembahasan selanjutnya hanya digunakan Indeks Miller karena fungsinya telah menggantikan fungsi Koefisien Weiss.

3. Jika suatu bidang memotong sumbu a sepanjang 2/3 satuan sumbu b dan c masing-masing sepanjang 1/2 satuan. Bagaimana bentuk bidangnya dan kedudukan bidangnya?
Bentuk bidang:
Pada penggambaran bentuk bidang menggunakan Indeks Miller, bidang digambarkan pada satu buah kubik.

Kedudukan bidang:
- Tentukan titik potong:
OA = 2/3
OB = 1/2
OC = 1/2
- Tentukan nilai resiprok (bilangan yang berbanding terbalik dengan nilai titik potong bidang dengan sumbu a,b,c.), penggunaan rumus IM berlaku disini.
Bilangan resiprok = 2/3, 1/2, 1/2
Karena terdapat bilangan pecahan yang bukan bilangan bulat sederhana maka perlu dirubah menjadi bilangan bulat terkecil.
- Ubah ke bilangan bulat terkecil
Masing-masing bilangan dikali 2, sehingga:
Bilangan bulat terkecil = 3, 4, 4

Maka daripada itu diperoleh IM = (3 4 4), disebut juga bidang (3 4 4)

Nah, bagaimana sudah cukup paham dengan indeks miller dan koefisien weiss?
Silahkan komen dikolom komentar ya jika ada pertanyaan.


Daftar Pustaka:
-Charles Kittel. 1996. Introduction to Solid State Physics. 6th Edition. John Wiley & Sons, Inc. 
-John Willey & Sons, Inc, USA. Lawrence, Van Vlack. 1989. 
-Aschcroft Mermin, Solid State Physics, 1975, International Edition, Printed in the United States of America.

Heksagonal: Kelas Trapezohedral (Soon)

EVOLUSI


EVOLUSI
Sebelum memasuki penjelasan mengenai evolusi ada baiknya kita mengenal taxonomi terlebih dahulu.
 


A.Taxonomi
a.Definisi
Mengklasifikasikan dengan memberi nama. Sistem pengklasifikasiannya dimulai dari pengelompokan ciri-ciri umum ke ciri-ciri spesifik.
b.Sejarah
>Aristoteles
Mengklasifikasikan makhluk hidup menjadi 2 kelompok besar yaitu hewan dan tumbuhan. Tumbuhan dikelompokkan lagi menjadi herbs, schrubs dan trees. Sedangkan kelompok hewan dibagi lagi menjadi 3 yaitu darat, air dan udara.
>C.Linnaeus
-Dikenal sebagai bapak taxonomi karena mencetuskan taxonomi secara sistematik.
-Sistem penamaan binomial nomenclatur
1.Hanya mengandung genus dan spesies. Spesies menjelaskan karakteristik, spesifik atau tempat ditemukannya.
2.Menggunakan bahasa latin. Dimana bahasa latin telah mati dan tidak berkembang lagi.
3.Lebih mudah digunakan karena hanya mengandung 2 kata (sebelumnya penamaan bisa sampai 7 kata).
4.Penamaan seperti ini Motacilla tragiodytes L,1758 menunjukkan bahwasanya nama genusnya adalah motacilla dan nama spesiesnya tragiodytes yang namanya diberikan oleh Linnaeus pada tahun 1758 dan sudah dideskripsikan juga.
5.Namun penamaan seperti ini Motacilla tragiodytes (L,1758) tidak sampai menunjukkan kalau spesies ini telah dideskripsi oleh Linnaeus.
6.Jikalau organismenya hanya diketahui genusnya saja (tidak bisa menentukan jenis spesiesnya) maka cukup tambahkan sp/spec diakhiran nama genusnya. sp untuk hewan, ex: Felis sp dan spec untuk tumbuhan, ex: Megnifera spec.
7.Jika dalam bentuk populasi namun tidak dapat dikenali ciri-ciri spesifiknya (spesies), terlihat bahwa sepertinya spesiesnya >1  dan hanya tahu genusnya saja maka cukup tambahkan spp setelah nama genusnya, ex: Felis spp.
8.Jika kasus seperti no.7 terjadi namun kita tahu sepertinya organisme ini mirip dengan suatu spesies namun bukan spesies itu maka kita bisa menambahkan cf setelah nama genus, ex: Magnifera cf. Indica.


B. Taxonomi pada fosil
Banyak penamaan fosil yang berbeda dengan nama aslinya, apakah hal itu menjadi masalah? ten hal ini tergantung dari yang lebih banyak digunakan.

Morphotaxa adalah taxonomi berdasarkan morfologinya saja dan banyak dignakan untuk taxonomi pada tumbuhan/microfosil dan paling sering untuk bagian pollen (zat bubuk halus sampai kasar yang terdiri dari butiran serbuk sari yang merupakan mikrogametofit jantan dari tanaman biji yang menghasilkan gamet jantan). Hal ini menyebabkan penamaannya beda dengan nama tumbuhannya.
Contohnya spinizonacoliptes.

Paleobotani: orang yang mempelajrinya beda-beda ada daun, kayu dan pollen.

Pytolith: silika dari tumbuhan terutama pada lingkungan kering dan bentuk silikanya beda-beda. Penamaan berdasarkan bentuk siikanya.


C.Evolusi
a.Definisi
Perubahan pada karakteristik yang diturunkan pada 1 populasi.

b.Perkembangan teori evolusi
-Anaximander
>Kosmos terbentuk dari kekacauan.
>Kehidupan timbul dari zat yang telah mati.
>Makhluk yang lebih tinggi tingkatannya berasal dari yang lebih rendah tingkatannya (sederhana-kompleks).
-C.Linnaeus
>Teori penciptaan (semua  makhluk tercipta secara serentak oleh sang pencipta).
>Bentuk-bentuk sekarang sama dengan bentuk pada saat penciptaan.
-Cuvier
>Adanya suatu bencana yang memusnahkan semua makhluk pada akhir setiap periode.
>Akibat bencana, muncul kehidupan baru yang berbeda dengan kehidupan sebelumnya.
-Buffon
>Makhluk yang ada sekarang mungkin timbul dari makhluk yang lain.
-Eugene Darwin
>Binatang yang ada sekarang mungkin berasal dari bintang lain.
-Lamarck
>Pada mulanya binatang sederhana muncul dari benda mati.
>Dari sederhana menjadi lebih kompleks.
>Jika organ tubuh sering digunakan maka akan tumbuh dan berkembang sempurna.
-Charles Darwin
>Makhluk yang ada sekarang berasal dari makhluk sebelumnya yang mengalami perubahan (evolusi) secara perlahan.
>Untuk struggle for existance: diperlukan kemampuan bersaing didalam atau antar makhluk dalam berbagai hal.
Evolusi dipengaruhi oleh 3 faktor:
-Genetika.
-Waktu.
-Seleksi alam: Mengutamakan yang mampu beradaptasi terhadap geologi dan klimatologi.

c.Tipe evolusi
Ada 2 tipe evolusi yaitu:
-Makroevolusi:
>Skala besar.
>Waktu lama tidak bisa hanya 1 generasi.
>Dilihat dari record fossil.
-Mikroevolusi:
>Skala kecil.
>Waktu sebentar.

d.Arah evolusi
-Retrogrsseive: dari bentuk komplek menjadi bentuk yang lebih sederhana.
-Progressive: dari bentuk sederhana menjadi bentuk yang lebih kompleks.

e.Tempo evolusi
-Sangat lambat, ex: brachiopoda.
-Sedang, ex: kuda.
-Sangat cepat, ex: perkembangan mamalia dari mesozoikum-kenozoikum.

g.Hasil akhir evolusi
-Divergen
Dari satu spesies menjadi banyak spesies baru. ex: mamalia.
-Konvergen
Adanya kesamaan antar dua organ atau organisme pada garis sama dari nenek moyang yang sama. ex: hiu dan lumba-lumba.

f.Seleksi
-Perubahan morfologi dan fisiologi
-Terjadi dalam 1 populasi.
-Menghasilkan keturunan yang bervariasi.
-Adanya genetik yang diturunkan.

g.Akibat evolusi
-Adaptasi
-Koevolusi-Kooperasi (evolusi secara bersama)
-Spesiasi
-Kepunahan

h.Gejala evolusi
-Pertumbuhan cangkang.
-Pertumbuhan ukuran bagian tertentu. ex: giigi.
-Perkembangan sutura. ex: ammonite.
-Arah perputaran cangkang (coiling).
-Bentuk-bentuk bagian tertentu.





KRISTAL 2: Kristal dan Sistem Kristal


A. KRISTAL
Kristal atau hablur adalah suatu benda padat homogen yang berbentuk polihedral teratur, dibatasi oleh bidang permukaan yang licin, rata yang merupakan ekspresi dari bangun atau struktur dalamnya.

Kristal terbentuk melalui pendinginan magma dengan lamanya waktu pendinginan sebagai faktor pengontrol besar kecilnya ukuran kristal. Magma sendiri didefinisikan sebagai cairan silikat pijar panas yang masih berada dibawah permukaan bumi, jika sudah berada diatas permukaan disebut lava sedangkan jika bercampur dengan air disebut lahar.

Jika magma mendingin dalam waktu yang lama maka kristal yang dihasilkan akan berukuran besar dan teksturnya kasar yang kita kenal sebagai fenokris, sebaliknya jika pendinginan berlangsung cepat maka ukuran kristal yang dihasilkan akan berukuran kecil dan bertekstur halus yang kita kenal sebagai masa dasar. Penyebutan tekstur kasar identik dengan ukuran kristal yang besar karena kristalnya bisa dilihat oleh mata telanjang sehingga lebih mudah dibedakan dengan kristal lainnya, sedangkan tekstur halus identik dengan ukuran kristal yang kecil sehingga perlu alat bantu untuk dapat mengidentifikasinya.
Batuan dominasi fenokris

Batuan dominasi massa dasar

Pendinginan magma yang berlangsung secara bertahap akan menghasilkan masa dasar dan fenokris secara bersamaan. Hal ini dipengaruhi karena magma tersebut naik secara perlahan dari bawah menuju ke permukaan bumi, dimana ketika berada dibawah permukaan magma terlebih dahulu mengalami pendinginan yang berlangsung lama menghasilkan kristal berukuran besar selanjutnya sisa magma dan kristal yang berukuran besar tadi naik ke permukaan karena suatu sebab tertentu. Ketika menuju ke permukaan pendinginan magma berlangsung cepat karena suhu dipermukaan jauh lebih rendah, hasilnya terbentuklah kristal berukuran kecil yang berada berdampingan dengan kristal berukuran besar pada suatu batuan.
Batuan hasil pembekuan bertahap


Namun pada suatu kesempatan, kristal bisa tidak terbentuk yang kita kenal dengan istilah non-kristalin/amorf, hal itu dikarenakan pendinginan berlangsung sangat cepat. Pumice dan skoria adalah batuan non-kristalin sebagai hasil dari peristiwa erupsi vulkanik.
Kristal vs Amorf
Hal yang paling mendasari perbedaan antara kristal dan amorf adalah bentuknya dimana amorf memiliki bentuk polihedral acak/ tidak teratur sedangkan kristal polihedral teratur sebagaimana tergambar oleh gambar di atas.

B. SISTEM KRISTAL

Sistem kristal bermanfaat untuk dapat membayangkan dengan lebih jelas bentuk kristal daripada hanya diketahui besar sudutnya saja. Sistem kristal dibedakan berdasarkan kombinasi antara panjang masing-masing sumbu dan besar sudut antarsumbu.

Pada penjelasan berikut secara umum sudut α adalah besar sudut yang dibentuk antara sumbu c dan sumbu b, sudut β adalah besar sudut yang dibentuk antara sumbu a dan sumbu c. Sedangkan sudut y adalah besar sudut yang dibentuk antara sumbu a dan sumbu b. 

Terkhusus untuk sistem kristal trigonal dan heksagonal sumbu horizontalnya ada 3 yang didefinisikan sebagai a1, a2, dan a3 yang menggambar a dan b secara bersamaan. Adapun sudutnya, sudut  α = β menggambarkan besar sudut antara sumbu c dengan sumbu a1/a2/a3 dan sudut y  menggambarkan besar sudut antara a1 dan a2, a2 dan a3, maupun a3 dan 1.

Berikut 7 sistem kristal secara umum:
1. Sistem Kristal Triklin
Ciri-ciri:
-Panjang sumbu a ≠ b ≠ c
-Sudut α ≠ β  γ  90°


2. Sistem Kristal Monoklin
Ciri-ciri:
-Panjang sumbu a ≠ b ≠ c
-Sudut α = γ = 90°, β   90°


3. Sistem Kristal Orthorombic
Ciri-ciri:
-Panjang sumbu a ≠ b ≠ c
-Sudut α = β = γ = 90°


4. Sistem Kristal Tetragonal
Ciri-ciri:
-Panjang sumbu a = b ≠ c
-Sudut α = β = γ = 90°
 


5. Sistem Kristal Trigonal
Ciri-ciri:
-Panjang sumbu a = b = c
-Sudut α = β = γ  ≠ 90°

 

6. Sistem Kristal Hexagonal
Ciri-ciri:
-Panjang sumbu a = b = c
-Sudut α = β = 90°, γ = 120°


7. Sistem Kristal Isometrik/Kubik/Reguler
Ciri-ciri:
-Panjang sumbu a = b = c
-Sudut α = β = γ = 90°

Heksagonal: Kelas Trapezohedral (Soon)

KRISTAL 1: Sudut antarbidang sebagai Identitas Kristal

Nicolaus Steno (1638-1686) pada tahun 1669 melakukan pengamatan terhadap kristal-kristal kuarsa . Walaupun masing-masing kristal kondisinya berbeda baik itu dari segi cara terjadinya dan ukurannya yang menyebabkan bentuk luarnya turut berbeda, ternyata sudut antar pasangan bidang kristal yang sejenis tetap sama. Sehingga besarnya sudut tumpuan antara dua bidang kristal akan menunjukkan identitas kristal tersebut.

Berdasarkan hal itu Steno kemudian membuat hukum "The Law of Constancy of Angel" yaitu:
1.Sudut antara dua bidang kristal dalam satu individu kristal selalu tetap atau konstan.


Terlihat pada gambar diatas, kedua gambar memperlihatkan jenis kristal yang sama. Gambar 1 kondisi awal kristal sedangkan gambar 2 kondisi akhir kristal. Warna kuning pada kristal di gambar 2 memperlihatkan hasil pertumbuhan dari kristal di gambar 1. Namun kedua kristal memperlihatkan besar sudut antarbidang yang sama walaupun telah terjadi pertumbuhan kristal. Hal itu diperlihatkan oleh sudut antara bidang A dan bidang B sama-sama sebesar α  dan sudut antara bidang C dan bidang D yang sama besar, sebesar β.

2.Sudut antara dua bidang kristal sama besarnya dengan sudut yang bersamaan pada individu lain pada jenis mineral yang sama.


Pada gambar diatas terlihat dua buah kristal yang berbeda, namun terletak pada jenis mineral yang sama. Bentuk kristal B mengalami pemanjangan sedangkan bentuk kristal A tetap. Kristal A dan B tampak memiliki hal yang sama dalam besar sudut antarpasangan bidang kristal yang sejenis.

Dari kedua hukum tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa peristiwa penambahan dan pemanjangan bidang pada kristal tidak akan merubah sudut antarbidang kristal. Oleh karena itu, di dalam klasifikasi sistem kristal pengukuran sudut antarbidang kristal merupakan hal yang penting.

Ada beberapa cara pengukuran sudut antar bidang kristal:
1. Pengukuran secara langsung dengan menggunakan Goniometer Kontak
Goniometer kontak adalah alat ukur sudut antarbidang yang cocok untuk dilakukan secara langsung di lapangan, hal itu dikarenakan goniometer jenis ini mudah dibawa kemana-mana. Goniometer ini pada umumnya memiliki dua jenis utama yaitu goniometer kontak yang menggunakan busur setengah lingkaran dan goniometer kontak yang menggunakan busur lingkaran penuh. Kedua jenis goniometer tersebut memiliki komponen utama yang sama yaitu:
- Axis: titik perpotongan antara bidang movement arm dan stabilization arm
- Movement arm: bidang yang dapat digerakkan.
- Stabilization arm: bidang yang tidak dapat digerakkan
- Busur: terdapat besaran sudut



Cara pengukuran goniometer kontak:
A. Goniometer  kontak yang menggunakan busur setengah lingkaran
1. Pada kristal tentukan bidang kristal yang hendak diukur


2. Tentukan sudut pada bidang kristal yang hendak diukur karena goniometer jenis ini hanya mampu mengukur sudut antarbidang satu per satu.


3. Tentukan juga jenis-jenis bidang (sisi kristal) yang membentuk sudut tersebut.


4. Tempelkan stabilization arm terlebih dahulu pada salah satu bidang (sisi kristal yang hendak diukur), stabilization arm pada goniometer jenis ini merupakan diameter dari busur.
5. Sedangkan untuk bidang (sisi kristal) lainnya tempelkan movement arm dengan cara menggerakkan bidang movement arm.
6. Bagian tengah bidang movement arm ibarat penunjuk jam, sehingga besaran sudutnya dapat diukur.

 

Pada gambar diatas terlihat besar sudut α sebesar 90°. Dikasus lain misalnya kita menemukan bidang kristal yang berbentuk belah ketupat, setelah dilakukan pengukuran sudut antar bidang, diperolehlah hasilnya sebesar 60° seperti ditunjukkan oleh gambar dibawah ini.

 

Pada goniometer kontak yang menggunakan busur setengah lingkaran untuk memahami cara kerja goniometernya agar tidak terjadi kesalahan dalam membaca sudut, maka kita harus memahami sifat sudut yang sama besar ketika dua sudut saling berhadapan, seperti gambar dibawah ini dimana besar sudut ? = α.

 

B. Goniometer kontak yang menggunakan busur lingkaran penuh
1. Pada kristal tentukan bidang kristal yang hendak diukur


2. Tentukan sudut pada bidang kristal yang hendak diukur.


3. Tentukan juga jenis-jenis bidang (sisi kristal) yang membentuk sudut tersebut.


4. Tempelkan stabilization arm terlebih dahulu pada salah satu bidang (sisi kristal yang hendak diukur), stabilization arm pada goniometer jenis ini membentang pada lingkaran busur yang melewati sudut 0° dan 180°.
5. Sedangkan bidang (sisi kristal) lainnya tempelkan movement arm dengan cara menggerakkan bidang movement arm.
6. Bagian tengah bidang movement arm ibarat penunjuk jam, sehingga besaran sudutnya dapat diukur.

 

Pada gambar diatas terlihat besar sudutnya sebesar 90°.

 

Untuk contoh pengukuran sudut pada salah satu sudut kristal berbentuk belah ketupat seperti yang disajikan gambar diatas terlihat besar sudutnya 60°. Untuk goniometer jenis ini pembacaan bisa langsung dilakukan tanpa memperhatikan konsep sudut sama besar ketika dua sudut saling berhadapan.

2. Pengukuran dengan metode difraksi sinar-X

Struktur Kristal menentukan pola difrakasi dari suatu zat atau lebih spesifiknya, bentuk dan ukuran dari unit sel menentukan posisi anguler dari garis-garis difraksi, dan susunan atom didalam unit sel menentukan intensitas relatif dari garis-garis tersebut yang dapat kita ringkas dengan menggunakakn table berikut ini:

Strutur Kristal Pola Difraksi Unit Sel Posis Garis Posisi Atom Intensitas Garis

Karena struktur dapat digunakan untuk menentukan pola difraksi, maka sangatlah mungkin bagi kita untuk menggunakan yang sebaliknya yaitu menggunakan pola difraksi untuk menentukan struktur kristal. Hal ini sangat mungkin dilakukan, namun tidak dengan menggunakan cara langsung. Penghitungan struktur secara langsung dari pola difraksi yang diberikan biasanya tidak dapat menyelesaikan masalah, karena prosedur yang digunakan merupakan hasil trial and error.
Proses penentuan struktur dari material yang belum diketahui dilakukan dalam 3 tahapan yaitu:

a. Bentuk dan ukuran unit sel diambil dari posisi anguler dari garis-garis difraksi.
Pertama-tama kita asumsikan bahwa material yang belum kita ketahui ini termasuk kedalam salah satu dari tujuh sistem Kristal, dan kemudian kita tentukan indeks Miller yang tepat untuk masing-masing refleksi. Tahap ini disebut sebagai “pengurutan pola” dan hal ini hanya dapat dilakukan jika kita telah memilih sistem Kristal yang tepat. Sekali saja pemilihan ini dilakukan, maka bentuk dari unit sel dapat diketahui (dari sistem Kristal), dan ukuran kristalnya dapat dihitung dari posisi dan indeks Miller dari garis-garis difraksi.
b. Kemudian jumlah atom per unit sel dihitung dari bentuk dan ukuran unit sel, komposisi kimia dari zat tersebut dan pengukuran densitasnya.
c. Akhirnya, posisi dari atom-atom dalam unit sel dimanil dari intensitas relatif dari garis-garis difraksi. Jika ketiga langkah ini kita lakukan maka proses penentuan struktur Kristal telah selesai.

Pada umunya tahap ketiga merupakan tahapan yang paling sulit, dan terdapat banyak sekali struktur yang diketahui secara tidak sempurna.

3. Pengukuran dengan metode refleksi menggunakan Goniometer Refleksi Wollastone


Goniometer jenis ini memanfaatkan peristiwa refleksi cahaya untuk mengukur sudut antar bidang pada kristal. Goniometer refleksi cocok untuk kristal berukuran kecil dengan permukaan yang halus. Meskipun perangkat ini portabel, akurat dan mudah digunakan, namun hanya bisa mengukur sudut antara dua bidang sekaligus. Jika pengguna ingin mengukur setiap sudut antara bidang yang berdekatan haruslah diposisikan ulang dan dimulai lagi.

Heksagonal: Kelas Trapezohedral (Soon)